Praktik Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi
Korupsi merupakan salah satu persoalan kompleks yang
selalu terjadi di Indonesia. Bahkan korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa
(Extraordinary Crime) karena
dampaknya sangat buruk bagi suatu bangsa. Kemiskinan adalah salah satu dari
sekian banyak dampak korupsi.
Setiap tahun bahkan bulan selalu terungkap kasus
baru dengan pelaku yang baru juga. Terbukti bebebapa hari ini kita dikagetkan dengan
skandal korupsi massal yang dilakukan sebagian besar anggota DPRD Kota Malang. (DetikNews,
03/09/2018). Ini hanya satu soal, tentu masih banyak soal terkait praktik korupsi
di Indonesia.
Maraknya praktik korupsi menunjukan bahwa praktik korupsi sudah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagian masyarakat tidak segan melakukan praktik
suap demi kepentingan pribadinya. Masyarakat tidak peduli bahkan permisif
terhadap praktik korupsi. Berbagai
upaya dilakukan guna memberantas praktik korupsi. Namun upaya itu seakan sia-sia karena praktik korupsi masih saja
terjadi. Masifnya praktik korupsi di Indonesia tidak terlepas dari budaya dan sistem yang
berlaku.
Ada fakta yang sulit untuk diingkari bahwa dihampir
sebagian besar urusan yang menyangkut pelayanan untuk kepentingan publik,
sebagian rakyat dengan sadar membayar uang lebih yang dapat dikualifikasi
sebagai “suap” karena tidak mau repot-repot dan menghabiskan waktunya untuk
mengurus KTP, SIM, STNK, pembuatan sertifikat dan lainnya. Pada berbagai bentuk
pelanggaran, seperti pelanggaran lalu lintas, sebagaian besar rakyat lebih
memilih menyelesaikan dengan memberikan “uang damai” daripada datang menghadap
ke sidang pengadilan. (Hartiningsih, 2011).
Ketiga lembaga negara yakni
eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dari awal diharapkan mampu menjalankan
tugas dan wewenangnya dengan baik nyatanya juga tidak luput dari praktik
korupsi. Dalam banyak kasus dapat kita temukan persekongkolan ketiga lembaga
negara dalam melakukan korupsi.
Praktik korupsi yang dilakukan oleh lembaga
eksekutif dalam hal ini pejabat
publik sangat memprihatinkan. Berbagai
kasus yang diungkap oleh pihak berwenang menunjukkan bahwa pejabat publik
cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadinya.
Praktik korupsi dalam lembaga yudikatif lebih memprihatinkan. Penegak hukum yang
mestinya menjadi pihak yang getol memberantas korupsi justru menjadi pelaku
tindak korupsi itu sendiri. Praktik suap-menyuap marak terjadi di lembaga penegak hukum. Beberapa kasus bisa jadi acuan,
misalnya penangkapan hakim dan panitera
di Medan terkait kasus suap. (DetikNews, 29/08/2018). Hal ini semakin menguatkan citra buruk bagi penegak
hukum di Indonesia dan membuat masyarakat
pada umumnya skeptis dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Praktik korupsi berupa
monopoli anggaran yang dilakukan lembaga legislatif juga memberi gambaran jelas
kepada kita bahwa tak satu pun lembaga negara di Indonesia yang luput dari
praktik korupsi. Buktinya adalah skandal yang dipaparkan oleh penulis pada awal
tulisan ini. Singkatnya, praktik korupsi ada di mana-mana.
Berbagai persoalan di atas adalah fakta miris yang
terjadi di Indonesia. Tentu kita sepakat bahwa pemberantasan korupsi merupakan
hal yang mutlak dan urgen dilakukan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi di
berbagai elemen masyarakat mesti digalakkan.
Berbagai upaya telah
dilakukan guna memberantas praktik korupsi. Salah satunya menyusun Undang-Undang
Anti Korupsi. Adapun undang-undang yang telah disahkan misalnya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang
Anti Korupsi ini berguna sebagai landasan bagi penegakan hukum kepada pelaku praktik
korupsi di Indonesia. Lebih dari itu, turut didirikan sebuah lembaga independen yang fokus dalam
memberantas praktik korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Sejak berdirinya pada tahun 2004, KPK telah
menjalankan tugasnya dengan baik dalam memberantas praktik korupsi. Terbukti
ratusan skandal korupsi berhasil diungkap oleh KPK. Keberhasilan dalam
memberantas praktik korupsi oleh KPK memang harus diapresiasi. Namun, dibalik keberhasilan ini muncul pertanyaan,
mengapa praktik korupsi masih tetap terjadi di Indonesia?. Pertanyaan ini
muncul sebagai reaksi atas fenomena yang terjadi bahwa selalu ada koruptor baru
di Indonesia meskipun langkah represif atau penegakan hukum terus berjalan. Hal ini mengafirmasi bahwa eksistensi
KPK tidak menjamin pemberantasan praktik korupsi.
Upaya mencegah dan melawan korupsi tidak akan
mengalami kemajuan secara signifikan jika hanya dilakukan oleh aparat penegak
hukum
seperti KPK. Dibutuhkan suatu
gerakan masyarakat yang kuat dan meluas, yang melibatkan semua kelompok untuk
melawan dan menghentikan berbagai tindakan korupsi. Salah satunya adalah
melalui Pendidikan Anti Korupsi.
Pendidikan
Anti Korupsi
Menyadari bahwa korupsi
sudah menjadi budaya dalam masyarakat, maka pendekatan dalam pemberantasan
korupsi juga harus melalui transformasi budaya. Masyarakat harus bisa
mengidentifikasi nilai-nilai budaya yang ada. Nilai-nilai budaya yang menjadi
cikal bakal lahirnya budaya korupsi mesti dihilangkan. Sebaliknya, nilai yang
menunjang seorang pribadi yang anti terhadap korupsi mesti dikembangkan.
Transformasi nilai-nilai
budaya dapat dilakukan oleh semua elemen masyarakat. Untuk mencapai hasil yang
memuaskan maka dibutuhkan sebuah formula yang dapat menjadi media pemberantasan
korupsi. Mengimplementasikan
pendidikan anti korupsi di sekolah maupun di keluarga secara baik merupakan salah satunya.
Pendidikan anti korupsi sudah sekian lama berjalan
di sekolah. Permulaan tersebut
ditandai dengan diserahkannya Modul Pendidikan Anti Korupsi dari Ketua KPK
kepada Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 23 Oktober 2008. Penyerahan
modul tersebut sebagai pertanda integrasi pendidikan anti korupsi pada
kurikulum yang berlaku di sekolah. Dalam pemberantasan korupsi, sekolah
diharapkan sebagai ujung tombak penanaman nilai dan prinsip anti korupsi kepada
anak didik. (Afid Burhanuddin, 2014)
Obyek utama dalam pendidikan
anti korupsi adalah anak dan kaum muda. Namun ini tidak bermaksud membatasi
ruang lingkup pendidikan anti korupsi. Penulis menyadari bahwa, anak atau kaum
muda adalah generasi pemimpin di masa depan. Oleh karena itu, mereka harus
dipersiapkan agar menjadi pribadi yang jujur dan anti terhadap korupsi.
Keluarga sebagai tempat
sosialisasi pertama dalam masyarakat memiliki peran penting dalam menyukseskan
pendidikan anti korupsi. Partisipasi orangtua adalah dengan mendidik anaknya
agar menjadi pribadi yang jujur. Adapun hal yang bisa dilakukan adalah dengan
melatih anak untuk jujur dalam menggunakan uang jajan. Ini hanya salah satu,
masih banyak hal yang bisa dilakukan. Pendidikan anti
korupsi bisa dilakukan dengan memberi teladan kepada anak.
Pendidikan anti korupsi berhubungan dengan
pendidikan moral. Adapun nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pendidikan anti
korupsi adalah sebagai berikut: Kejujuran, Kepedulian,
Kemandirian, Kedisiplinan, Tanggung Jawab, Kerja Keras, Kesederhanaan,
Keberanian dan Keadilan. Nilai-nilai ini bisa dijadikan landasan bagi
pembentukan karakter pribadi yang anti terhadap korupsi.
Pendidikan anti korupsi merupakan langkah pencegahan
sejak dini terjadinya korupsi. Strategi
ini punya dampak yang baik dalam menanggulangi korupsi. Hanya saja, pendekatan preventif atau pencegahan ini memang tidak dapat dinikmati secara
langsung, tetapi akan terlihat dalam jangka yang panjang. Hal ini sejalan
dengan tujuan pendidikan anti korupsi yakni menciptakan kader yang
berintegritas dan anti terhadap korupsi di masa depan.
Harus diakui juga bahwa pendidikan
anti korupsi hanya bisa berjalan jika semua elemen masyarakat berpartisipasi
dan punya komitmen bersama untuk memberantas praktik korupsi. Tanpa itu, pendidikan
anti korupsi hanya wacana belaka. Oleh karena itu, penulis mengajak semua elemen masyarakat harus terlibat
dalam upaya memberantas praktik korupsi. Salah satunya turut ambil bagian
memberikan pendidikan anti korupsi.
*Oleh:
Eras San
(Mahasiswa
STFK Ledalero)
Komentar
Posting Komentar