Problematika Moralitas; Kajian atas sikap hedonistik manusia "zaman now"
I.
Latar Belakang
Dewasa ini sering kita
temui fenomena gaya hidup (Life style)
yang tidak sesuai dengan keadaan ekonomi. Kencendrungan ini tidak terlepas dari
kebiasaan masyarakat kita yang konsumtif. Kebiasaan ini berbanding lurus dengan
tren global. Dalam KBBI, tren
diartikan sebagai gaya mutakhir. Gaya mutakhir ini
diejahwantakan dalam banyaknya produk atau pola hidup baru yang berkembang
dalam kehidupan masyarakat. Tren juga tidak terlepas dari fenomena Globalisasi.
Globalisasi menawarkan banyak hal, baik itu positif maupun negatif. Berhadapan
dengan perkembangan yang ada tentu dibutuhkan sikap kritis, masyarakat harus bisa
memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Dalam konteks masyarakat Indonesia muncul paradigma baru bahwa orang akan merasa
hebat jika selalu mengikuti tren. Tujuannya jelas agar ia tidak dianggap
ketinggalan zaman. Namun jika kita telaah lebih dalam, kebiasaan ini tentu
sangat berbahaya untuk kehidupan sosial.
Tren dalam dirinya sendiri tidak salah, karena hakekat manusia adalah
berkembang. Perkembangan ini tentu baik adanya, namun yang menjadi persoalan
adalah ketika kita memaksa diri untuk selalu mengikuti tren. Hal inilah yang
menjadi persoalan dewasa ini, banyak masyarakat kita yang ikut-ikutan dengan
perkembangan zaman.
Menyikapi hal ini, maka
penulis mencoba menelaah lebih dalam mengenai persolan perkembangan zaman
dengan hakekat pribadi manusia yang hedonis.
II.
Hedonisme Etis
Kata hedonisme berasal dari bahasa
Yunani (hedone: nikmat, kegembiraan).
Hedonisme bertolak dari anggapan bahwa manusia hendaknya hidup sedemikian rupa
sehingga ia dapat semakin bahagia. Pandangan bahwa tercapainya kebahagiaan
mesti menjadi tujuan hidup manusia dan bahwa oleh karena itu manusia hendaknya
hidup dengan suatu cara yang mendekati kebahagiaan itu. Adapun kekhasan
hedonisme yakni sebagai berikut; kekhasan hedonisme adalah anggapan bahwa orang
akan menjadi bahagia dengan mencari perasaan-perasaan menyenangkan sebanyak
mungkin dan sedapat-dapatnya menghindari perasaan-perasaan yang tidak enak.
Etika yang membuat pencaharian
kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasariah disebut eudemonisme (dari kata Yunani: eudaimonia,
kebahagiaan). Pertimbangan yang mendasari etika kebahagiaan itu mudah
dimengerti: kebahagiaan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Tidak ada yang
mengatasinya. Orang yang sudah bahagia, tidak memerlukan apa-apa lagi.
Nampaknya masuk akal kalau kehidupan kita diarahkan pada usaha untuk mencapai
kebahagiaan.[1]
Hedonisme
yang telah menjadi wawasan hidup sebagian orang mengantar mereka pada pemahaman
bahwa orientasi hidup mereka tertuju pada suatu kenikmatan atau kebahagiaan.
Berkaitan dengan orientasi tersebut, perkembangan zaman telah memberi ruang
bagi mereka untuk mengejar apa yang
dirasa nikmat. Sehingga tidak salah jika manusia merasa belum puas jika apa
yang diinginkannya belum tercapai. Oleh karena itu manusia akan selalu
mengikuti perkembangan zaman karena baginya dengan itu ia dapat mencapai apa
yang dirasakannya sebagai suatu kenikmatan atau kebahagiaan.
III.
Tren dan Budaya Konsumisme Hedonistik
Berkaitan dengan hal ini, masyarakat kita akan
dihadapkan dengan hal-hal sebagai berikut; Globalisasi dengan neoliberalisme
dan kepicikan wawasan kedaerahan, menantang kita dari luar. Tetapi konsumisme
menantang kemanusiaan kita dari dalam.
Dengan “konsumisme” dimaksud suatu ketagihan di mana
konsum, pemakaian produksi
kapitalisme, menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Konsumisme tentu berkaitan
dengan kapitalisme. Karl Marx menyatakan bahwa produksi kapitalis tidak lagi
sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan sebaliknya malah baru menciptakan
kebutuhan-kebutuhan itu. Marx mau mengatakan bahwa sesuatu yang sebenarnya
tidak kita butuhkan, dan yang tidak kita rasakan sebagai kebutuhan, ditawarkan
sedemikian rupa oleh perusahaan-perusahaan sehingga kita merasa membutuhkannya.[2]
Budaya konsumisme berkembang tidak lain karena
masyarakat sudah tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Saat ini
kita sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan karena keduanya terlihat
sama. Hal ini dapat kita temukan dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Globalisasi dengan neoliberalisme seperti yang disampaikan Marx membuat
masyarakat terjebak dalam gaya hidup serba mewah. Konsep kebutuhan pada zaman
dulu tidak lagi sama dengan zaman sekarang.
Masalah yang lebih serius dan langsung menantang
kemanusiaan kita terletak dalam manipulasi kebutuhan-kebutuhan yang tidak kita
sadari. Magnis Suseno dalam bukunya mengangkat sebuah contoh aktual mengenai
manipulasi kebutuhan hidup manusia yakni sebagai berikut; Kalau orang dulu puas
makan ayam mBok Berek dan sekarang juga ingin makan humberger di MacDonald, itu belum dengan sendirinya sebuah
kebutuhan palsu. Tetapi kebutuhan makan di MacDonald menjadi palsu apabila saya
sebenarnya lebih suka makan ayam mBok Berek, tetapi demi gengsinya, karena itu trendy, merasa harus makan di MacDonald.
Jadi sebenarnya saya tidak begitu puas makan di MacDonald, tetapi saya merasa
butuh makan di situ karena “orang zaman ini makan di MacDonald”. Kita menjadi
kacau dalam apa yang kita nikmati. Bisa saja orang tidak lagi tahu apa yang
sebenarnya ia suka makan karena ia tidak memilih tempat dengan makanan yang
paling dinikmati, melainkan tempat yang dianggap tempat makan “Orang zaman
ini”.[3]
Contoh yang diangkat Magnis Suseno di atas
menyadarkan kita bahwa masyarakat zaman sekarang sudah terjebak dalam paham
yang salah mengenai kebutuhan dan keinginan. Keinginan cenderung berafiliasi
dengan tren. Kebiasaan hidup yang selalu mengikuti tren hanya akan menyengsarakan
hidup karena masyarakat akan terbelenggu dalam kenikmatan palsu.
Akibat yang tak kalah fatal menyangkut kepribadian
orang yang terkena konsumisme adalah ia menjadi terasing dari dirinya yang
sebenarnya. Ia semakin termanipulasi. Yang ia kejar bukan lagi apa yang
betul-betul dibutuhkannya, bukan apa yang sungguh-sungguh diminatinya, melainkan
yang disugestikan kepadanya oleh industri promosi sebagai kebutuhan, sebagai
minat. Yang diminati bukan lagi apa yang betul-betul bernilai; bernilai secara
sosial seperti persahabatan sungguh-sungguh, tetapi juga bernilai inderawi
seperti misalnya makanan kesayangan tertentu, melainkan agar ia menyesuaikan
diri dengan apa yang menjadi trend-nya.
Ia terdorong oleh terus membeli yang terbaru, yang paling gengsi, yang baru
saja in, tetapi karena ia tidak
pernah merasa puas, apa yang dibelinya.
Klimaks dari persoalan gaya hidup di atas adalah
manusia menjadi sosok yang hedonis egosentrik. Ia selalu terdorong untuk
mengejar apa yang diinginkannya. Bahkan ia rela melegalkan segala cara untuk
mencapai keinginannya. Sehingga tidak salah dalam kehidupan bermasyarakat kita
sering menemukan orang yang rela berutang hanya untuk membeli handphone pintar(Smartphone) terbaru.
IV.
Manusia Dan Moralitas
Sifat paling hakiki dari pribadi manusia adalah
“menjadi subyek”, yaiitu sumber inferior keputusan bebas untuk melakukan
tindakan. Dan tindakan manusia disebut bermoral kalau mengarah pada “yang baik”
dan “yang berguna” sebagai intention utama.
Dasar filosofis dari actus moralis (tindakan moral) adalah bahwa manusia secara
kodrati merupakan makhluk bermoral dan bahkan Aristotels pun sudah
mendefinisikan manusia sebagia “makhluk beretika” sebagai differentia specifica antara dirinya dan binatang. Superioritas
manusia sebagai homo ethicus terletak
pada kemampuannya untuk berpikir apa yang “sebaiknya” dibuat dan mana yang
“seharusnya” dihindari ( aspek rasionalitas-logos), segala yang dibuat harus
mengarah kepada kebaikan(aspek etisitas-ethos).[4]
Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan
bahwa manusia memiliki dua indikator dalam bertindak yakni melakukan hal yang
baik dan menghindari hal yang buruk. Dan hal ini sudah menjadi semacam moralitas
universal, namun kita mesti mengakui bahwa ada juga orang yang bertindak
bertentangan dengan hal di atas, dan olehnya kita sebut itu dengan kejahatan.
Manusia ketika dihadapkan dengan sikap hedonistiknya
memunculkan pertanyaan, apakah kebahagiaan yang menjadi orientasi tindakan
mereka betul-betul baik atau berguna seturut moralitas universal? Pertanyaan
ini tentu menimbulkan polemik, antara itu sebagai baik adanya atau pun tidak
baik. Karena bagi seorang yang hedonis, kebahagiaan adalah tujuan utama namun
dalam kenyataan kebahagiaan atau kenikmatan itu terkadang bersifat sesaat( bdk.
Free seks), oleh karenanya seorang
hedonis jarang mempertimbangkan dampak setelah ia merasa bahagia atau nikmat.
Oleh karena itu hal penting yang mesti menjadi
awasan bagi seorang hedonis adalah ia mesti mempertimbangkan baik-baik apa yang
menjadi prioritasnya. Meski pun dalam hubungannya dengan ini kita masih
mengakui kebebasan, termasuk kebebasan untuk menjadi seorang hedonis. Seorang
hedonis mesti tetap menghormati norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi konflik antar kepentingan
pribadi (hedonis;misalnya praktek free
seks) dengan norma yang berlaku. Dengan mempraktek kehidupan seperti ini,
dharapkan ketertiban umum dapat tercapai.
V.
Penutup
Dari beberapa uraian di atas, hemat penulis hal
berikut ini bisa dijadikan awasan dalam bertindak khusus dalam hubungannya
dengan manusia dan sikap hedonistiknya. Setiap manusia selalu memiliki
kepentingan pribadi termasuk menjadi seorang hedonis. Namun hal yang mesti
dipertimbangkan adalah realitas hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat
kita menemukan pluralitas kepentingan. Pluralitas ini hanya bisa diakomondasi
melalui peraturan yang berlaku. Peraturan diejawantahkan dalam undang-undang,
norma, adat-istiadat, dll. Menyadari beragam peraturan ini, seorang pribadi
mesti selalu menghormati aturan yang berlaku. Tujuannya jelas agar tidak
terjadi konflik kepentingan.
Oleh karena itu, sebagai makhluk yang hidup di
tengah realitas plural manusia mesti selalu memprioritaskan kepentingan umum
ketimbang kepentingan pribadi karena kebebasan seseorang selalu dibatasi oleh
kebebasan orang lain.
[1] Magniz Suseno, Etika Dasar;
Masalah-masalah pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987),
hlm. 113-114.
[2] Magniz Suseno, Etika
Kebangsaan Etika Kemanusiaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), hlm.
16.
[3] Ibid., hlm. 18.
[4] Dikutip dari materi kuliah Teologi Moral Dasar (Pater Fredy Sebho),
hlm.26.
Komentar
Posting Komentar