Kebenaran dan Kepastian
I.
PENDAHULUAN
Dalam
telaah mengenai Filsafat Ilmu Pengetahuan, kita menemukan banyak
masalah. Masalah itu antara lain; kepastian,
kebarangkalian, kesesatan dalam ilmu-ilmu empiris dan ilmu eksakta. Suatu
masalah pokok yang harus ditelaah
adalah kebenaran dan kepastian. Pengetahuan selalu mengandung kebenaran dalam
arti bahwa apa yang kita klaim sebagai pengetahuan kita haruslah benar. Dalam
paper ini kelompok akan membahas beberapa poin penting berkaitan dengan
kepastian dan kebenaran antara lain: teori-teori mengenai kebenaran,
sifat-sifat kebenaran ilmiah, kepastian dan kebenaran, taraf kepastian ilmu
empiris dan ilmu eksakta, kepastian dan falibilitas.
II.
ISI
2.1
BEBERAPA TEORI MENGENAI
KEBENARAN
2.1.1
Kebenaran sabagai
kepastian
Pendiri
teori ini adalah Aritoteles. Ia mengatakaan sesuatu yang ada sebagai yang tidak
ada, atau yang tidak ada sebagai yang
tidak ada adalah salah. Sebaliknya mengatakan hal yang ada sebagai yang
ada, adalah benar, dan yang tidak ada sebagai yang tidak ada adalah benar.
Dengan ini muncul kebenaran sebagai persesuaian antara apa yang dikatakan atau dipikirkan
dengan kenyataan. Apa yang dinyatakan berhubungan dengan kenyataan yang diungkapkan
dalam pernyataan itu (correspondent) dengan kata lain kebenaran adalah
persesuaian antara S dan O, apa yang diketahui S dengan realitas sebagaimana
adanya (kebenaran empiris yang didukung oleh fakta).
Beberapa
pokok penting yang perlu diketahui tantang hal ini adalah:
a.
Teori ini sangat
didukung dengan empirisme, dan oleh karena itu teori ini sangat menghargai
pengamatan dan pengujian empiris. Ia lebih menekankan cara kerja pengetahuan
aposteriori.
b.
Teori ini juga
menegaskan dualitas antara S dan O, mengenal dan yang dikenal. Disana obyek
terasa penting bagi pengetahuan manusia. Subyek atau akal budi hanya mengolah
apa yang diberikan obyek.
c.
Teori ini menekankan
bukti bagi kebenaran suatu pengetahuan. Namun bukti ini bukan hasil akal budi,
atau hasil imaginasi akal budi, tetapi apa yang disodorkan obyek melalui panca
indra. Persoalan ialah semua proposisi atau hipotesis yang tidak didukung oleh
bukti empiris tidak akan dianggap benar. Misalnya, Tuhan adalah kebijaksaan dan
dia hadir dalam sejarah manusia. Ini pernyataan yang tidak benar. Maka tidak dilihat
sebagai pengetahuan. Ini dianggap sebagai keyakinan atau juga idologi.
2.1.2
Kebenaran sebagai
keteguhan (The Coherent Theory of Truth).
Pandangan
ini dukungan dari Pythagotas, Parmenindes, Spinoza dan Hegel. Teori ini dianut
oleh kaum rasionalis. Kebenaran tidak lagi ditemukan dalam kesesuaian dengan
kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi lama
atau yang sudah ada, atau yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan atau proposisi
yang dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan atau preposisi sebelumnya
Matematika dan ilmu pasti sangat cocok dengan teori kebenaran ini. Misalnya,
semua manusia mati; maka Sokrares pasti mati. Penekanan pada pengetahuan
apriori-rasional dan dedukatif. Disini pengenal dan subyek lebih dipentingkan
dari obyek.
2.1.3
Teori pragmatis tentang
kebenaran (The Pragmatic Theori of Truth).
Teori
ini dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce dan william James. Kebenaran
memiliki arti yang sama dengan kegunaan. Sesuatu ide benar adalah ide yang bisa
memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat
guna. Ide yang benar pasti juga memiliki konsekuensi praktis pada tindakan
tertentu (J. Dewey). Kebenaran yang ditemukan disini adalah menyangkut “know-how”, kalau manusia
berhasil menciptakan sesuatu.
2.1.4
Teori kebenaran
perfomatif (Perfomative Theory of Truth).
Anggapan
tentang terlaksananya dalam bahasa
(ungkapan) manusia berasal dari inggris (Frank Ramsey, Jhon Austin, dan
Peter Strawson). Mereka melawan reori klasik bahwa benar dan salah adalah
ungkapan deskriptif. Suatu pernyataan dianggap benar kalau ia menciptakan
realitas. Misalnya, “dengan ini saya mengangkat anda menjadi ketua kelas.”
Ungkapan atau pernyataan ini menciptakan suatu realitas.
2.1.5
Teori kebenaran
historis.
Ini
pada umumnya diakui pada kelompok post-modernis atau sturukturalis dan
pos-strukutralis. Menurut mereka kebenaran selalu bersifat historis dan selalu
berpusat pada kebebasan batin setiap manusia, dan bukannya ditentukan terlebih
dahulu atau ditentukan oleh orang lain. Dalam diri setiap manusia dan
kebudayaan terdapat unsur kebenaran.
2.2
SIFAT-SIFAT KEBENARAN
ILMIAH
Ada
dua macam kebenaran yaitu: kebenaran empiris dan logis yang kiranya dapat di terapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu
terdapat tiga sifat dasar kebenaran ilmiah:
a. Struktur
kebenaran ilmiah bersifat rasional logis (berdasarkan kesimpulan yang
logis-rasional dari premis-premis tertentu). Karena itu bersifat rasional, maka
semua orang rasional dapat menggunakan akal budinya secara baik dan memahami
kebenaran ilmiah ini. Sebab itu ia bersifat universal. Sifat rasional harus
dibedakan dari ‘masuk akal’ berlaku terutama bagi kebenaran tertentu yang
berbeda di luar lingkup ilmu pengetahuan. Misalnya, setiap marah dan menangis
dapat masuk akal walau tidak rasional.
b. Isi
empiris: kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada (empiris).
c. Sifat
pragmatis mau menggabungkan dua sifat kebenaran diatas. Pernyataan itu logis
dan empiris, maka harus juga berguna dalam hidup manusia dalam memecahkan
permasalahan.
2.3
KEPASTIAN DAN KEBENARAN
Dalam
diskusi tentang teori kebenaran, pernyataan yang selalu muncul ialah apakah
kebenaran ilmiah bersifat pasti atau sementara? Jawaban atas kedua petanyaan
ini memuncul dua pandangan yang berbeda, yaitu pandangan kaum rasionalis dan
pandangan kaum empiris. Karena itu kita harus berbicara tentang taraf-taraf
kepastian (subyektifitas dan obyektifitas).
Pemakaian
istilah S dan O sudah dibicarakan, demikian pula pengetahuan yang dimengerti
sebagai kesadaran subyek tentang obyek yang dikenalnya. Disana terang terjadi
pada pihak subyek dan dari pihak obyek pula yang seolah membuka diri kepada
subyek.
Dari
sudut pengetahuan kita mengenal apa yang disebut evidensi dan kepastian. Dalam
hubungan dengan subyek dan obyek, evidensi terletak pada pihak obyek. Sedangkan
kepastian ada pada pihak subyek. Evidensi adalah terang atau daya obyek yang
menampakan diri, sedangkan kepastian adalah keyakinan dalam diri subyek bahwa
apa yang dikenalnya sungguhadalah obyek yang ingin diketahuinya. Ketiga
kategori itu antar lain: Pertama,
hukum-hukum logis. Contoh hukum non-kontradiksi yang mengatakan bahwa sesuatu
tidak mungkin sekaligus X dan bukan X pada waktu yang sama. Kedua, pertanyaan-pertanyaan analitis.
Contoh “semua orang yang tidak kawin” adalah pertanyaan analitis, karena orang
yang tidak kawin sudahtercakup dalam makna kata berjuang. Kebenaran itu
bersifat self-evident. Self-evident dapat dibagi ke dalam kepastian berkaitan
dengan subyek (rasionalis). Kaum rasionalis yakin bahwa kebenaran sebagai keteguhan yang bersifat pasti, karena
kesimpulannya hanyalah merupakan konsekuensi logis dari teori, pernyataan, atau
hukum ilmiah lainnya, sebab itu sejauh teori atau hukum benar maka kesimpulannya
juga benar.[1]
2.4
TARAF KEPASTIAN ILMU EMPIRIS DAN ILMU EKSAKTA
Dalam
kaitannya dengan kepastian sering kita mengatakan bahwa sesuatu hanya dapat
ditempatkan dalam “barangkali” atau “mungkin.” Istilah ini digunakan para ilmuwan
untuk menunjuk pada sesuatu yang dalam gejala pengetahuan terletak pada pihak
obyek. Untuk mengatasi kesulitan ini kita diperkenalkan dengan istilah ‘kepercayaan’.
Kepercayaan
adalah ciri khas hipotesis ilmiah. Hipotesis ini justru ada pada pihak subyek.
Kepercayaan hipotesis bisa lemah, bisa kuat, tetapi ini begantung pada mutu dan
jumlah data empiris yang dapat diterangkan.
2.4.1
KEPASTIAN DALAM ILMU-ILMU EMPIRIS
Semua
ilmu empiris, termasuk ilmu-ilmu manusia, mengajar tentang kepastian dalam dua
arti, yaitu:
a)
Kepastian tentang
explanans dari gejala-gejala yang diselidiki, terutama menyangkut kebenaran
pernyataan dari gejala-gejala itu: dan
b)
Kepastian mengenai
kesimpulan yang dapat ditarik dari suatu hukum yang berlaku. Namun yang dicapai
adalah satu ketakpercayaan (tidak pernah mencapai nilai 1). Bahkan walaupun
hipotesis dan hukum sangat terpercaya, keduanya harus tetap terbuka untuk
dibuktikan salah (keduanya bersifat sementara). Jelas bahwa segala taraf kepastian
konkrit dalam ilmu-ilmu empiris bersifat bebas, dalam arti tidak pernah ada
paksaan dalam akal agar sesuatu disetujui. Dengan menggunakan istilah evidensi
dapat dikatakan bahwa evidensi dalam ilmu-ilmu empiris selalu bersifat nisbi,
dan sebab itu perlu disejujui berdasarkan pilihan bebas tanpa paksaan.
2.4.2
KEPASTIAN DALAM ILMU-ILMU EKSAKTA
Dalam konteks penemuan (context of
discovery), dalam usaha mencoba-coba, apa yang dikatakan tetang ilmu-ilmun
empiris juga berlaku untuk ilmu-ilmu pasti (dimana ilmu itu belum pasti). Namun
dalam konteks pembenaran, dalam satu
sistem matematika atau logika yang sudah jadi dan berdiri sendiri, tidak ada
lagi hipotesis, melainkan hanya ungkapan-ungkapan yang bersifat aksiomatis
(yang terdiri dari dalil-dalil yang semuanya bernilai 1. Semua dalil berlaku di
mana-mana tanpa diragukan dalam sistem itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan
dengan ilmu pasti.
2.5
KEPASTIAN DAN
FALIBILITAS
2.5.1
Kepastian kebenaran
ilmiah
Setelah melihat faham-faham
tentang kebenaran (logis-rasional, empiris, pragmatis, performatif dan
historis) persoalan adalah apakah kebenaran ilmiah bersifat pasti atau
sementara? Ada dua macam jawaban.
1.
Dari segi rasional:
kepastian berkaitan dengan subyek. Kebenaran sebagai keteguhan bersifat pasti,
karena kesimpulanya hanya merupakan konsekuensi logis dari
pernyataan-pernyataan, teori atau hukum ilmiah lainnya. Mereka pasti mengatakan
bahwa kebenaran itu bersifat mutlak dan bukan hanya sementara. Namun sebenarnya
kebenaran itu juga masih bersifat sementara, sebab kebenaran sebagai keteguhan
dari suatu pernyataan sangat tergantung pada kebenaran teori atau pernyataan
lain (suatu teori selalu ada kemungkinan untuk membuktikan salah).
2.
Dari segi empiris: ilmu
pengetahuan tidak meiliki ambisi untuk menjadi seperti iman dalam agama. Ilmu
pengetahuan tidak pernah akan memberikan formulasi final dan absolut tentang
seluruh universum. Ini disebut
falibilisme, yang berarti ilmu harus kritis terhadap apa yang sudah ia
temukan. Namun setiap ilmu mengarahkan kita kepada kebenaran. Maka falibilisme
disini berarti suatu sikap yang beranggapan bahwa kendati pengetahuan
ilmiah merupakan pengetahuan yang paling
baik yang dapat kita miliki dan metodenya adalah satu-satunya yang dapat
dipercayai, kita tidak boleh mengangap ilmu pengetahuan pasti benar dengan
sendirinya. Ilmu pengetahuan selalu bisa salah. Lebih dari itu kita harus
memahami kesalahan ini secara lebih moderat sebagai tentang yang terus menerus
dalm mencari kebenaran ilmiah yang baru.
2.5.2
Falibilisme dan metode
ilmu pengetahuan
Metode ilmu pengetahuan tidak
menghasilkan pengetahuan yang absolut pasti dan universal, melainkan
pengetahuan yang dapat salah. Indikasi metodologi sebagai alasan falibilisme
moderat ini nyata dalam:
a.
Peneliti sendiri tidak
pernah merasa pasti dengan apa yang dicapainya sendiri. Inilah karakter dasar
setiap penelitian ilmiah (dimulai dengan keraguan). Pengetahuan ilmiah bisa
menjadi kepercayaan ilmiah, tapi kepercayaan ini tak pernah berakhir, melainkan
selalu memunculkan keraguan baru.
b.
Fokus utama kegiatan
ilmiah adalah ferifikasi atas hipotesis. Bagian yang terpenting adalah
penalaran induktif. Selalu saja terbuka kemungkinan bahwa contoh-contoh yang
kita kemukakan tidak lengkap.
c.
Metode induksi selalu
tidak lengkap. Karena itu tidak hanya berani mengajukan hipotesis berdasarkan
fakta terbatas yang ada, dengan harapan semua fakta lain akan mendukung
hipotesis ini. Selalu bisa terbukti sebaliknya, yaitu ternyata hipotesis kita
salah karena fakta lain tidak mendukungnya.
d.
Setiap hipotesis pada
dasarnya tidak pasti sebab ia dirumuskan sebagai jawaban sementara atas
problem. Ia selalu terbuka untuk dikoreksi dan dievaluasi.
Jelas bahwa peengetahuan ilmiah
tidak bebas dari kekeliruan atau selalu terbuka terhadap kritik dan
perbaikan. Bagi kaum empiris tidak
mungkin ada kepastian dan universalitas mutlak dalam pengetahuan ilmiah.
Felibilisme ilmiah menjadi doktrin utama bagi seorang ilmuwan.
2.6
MACAM-MACAM KEPASTIAN[2]
2.6.1
Kepastian metafisik (Certitudo Metaphysica)
Bersifat mutlak karena dia berasal
dari hukum-hukum adanya, esse. Hukum
ini berlaku bgai segala macam adanya dan oleh karena itu hukum itu bersifat
seharusnya (neccessary).Ada dua macam kepastian metafisik: pertama, kepastian metefisis mengenai kebenaran-kebenaran matematis
kebenaran-kebenaran itu mengungkapkan hubungan yang seharusnya antara
esensi-esensi yang abstark.Kedua,
kepastian metafisis mengenai intuisi yang berhubungan dengan
kenyataan-kenyataan sederhana seperti, saya ada, ada hujan dan sebagainya.Ketiga, kepastian metafisis mengenai
adanya Allah. Kerohanian jiwa karena kebenaran-kebenaran itu diperoleh dengan
memakai prinsip dasar mengenai kenyataan yang kontingent tetap yang dipakai
yang dikenal melalui intuisi.
2.6.2
Kepastian Fisis
Didasarkan bukan atas pengalaman
sensitip (di sini masih ada kepastian metafisis) melainkan atas pengetahuan
mengenai hukum-hukum alam. Pengetahuan mengenai hukum-hukum alamiah di dasarkan
atas induksi.
2.6.3
Kepastian Moral
Kepastian moral dinamakan juga
kepastian praktis dan merupakan suatu pendapat yang didasarkan atas suatu
probabilitas yang cukup kuat yang memungkinkan tindakkan yang bijaksana.
Pengertian lebih ilmiah dan lebih sempit: suatu kepastian yang didasarkan atas hukum-hukum moral.
2.7
FALIBILISME DAN OBYEK ILMU PENGETAHUAN
Falibilisme pengetahuan ilmiah disebabkan
oleh metode ilmiah, tetapi juga menjadi karena obyek ilmu pengetauan adalah real dan berubah-ubah, karena obyek
ilmu adalah alam. Justru karena itu pengetahuan ilmia kita tidak pernah
mencapai kepastian mutlak. Karena alam selalu berkembang dan berada dalam
proses perubahan.
a)
Realitas obyek: seorang
ilmuwan yang baik adalah seorang realis yang tidak melihat konsep-konsep
ilmiahnya semata-mata sebagai hasil imaginasi tanpa hubungannya dengan dunia
nyata, melainkan merupakan hasil dari pemikiranya tentang dunia nyata. Obyek
ilmiah pengetahauan disebut nyata atau real itu mengandung tiga arti:Pertama, yang nyata berarti lepas dari
pemikiran manusia. Perhatian ilmuwan selalu terarah kepada sesuatu yang berada
diluar dirinya sendiri. Ia mau tahu tentang sesuatu yang belum pernah
dipikirkan, tetapi dapat disampaikan alam kepadanya. Berdasarkan alasan ini ia
justru memberi perhatian kepada alam. Jelas, alamlah yang mendorong ilmuwan
untuk membuat penelitian. Fakta memunculkan rasa ingin tahu dan ia mendorong
unutuk mencari penjelasan, hipotesis atau teori. Sebagai implikasi, metode ilmu
adalah salah satu cara untuk menangkap apa yang ingin disampikan alam
kepadanya. Metode ini hanya terarah kepada fakta yag real, terlepas dari pengetahuan
individual seorang ilmuwan. Sebab itu penelitian ilmiah bertugas hanya meneliti
alam dan bergantung pada realitas yang dipelajari. Jelas bahwa, pemikiran
bergantung pada realitas, tetapi relitas bebas dari pemikiran atau menjadi
ukuran dari pemikiran.Kedua, walupun
dunia real bebas dari perkiran manusia, realitas itu dapat dikatakan real jika
dapat dikenal. Obyek dari pengalaman harus dapat mempengaruhi ilmuwan dan
menjadi daya tarik tersendiri bagi ilmuwan. Setiap realitas harus dapat
dikenal. Kedua ciri ini mempunyai implikasi penting dalam pemahaman ilmu
pengetahuan. Kalau realitas tidak terlepas dari pemikiran kita, maka tidak
perlu ada metode limiah. Setiap orang dapat merenungkan pemikiranya tanpa harus
keluar dari dirinya dan berhadapan dengan realitas luar. Ia juga tidak perlu
mempelajari pemikiran ilmuwan lain. juga tida mungkin akan ada keraguan,
pertanyaan dan penelitian. Sebab itu pengetahuan kita juga tidak perlu
berkovergensi pada kebenaran. Sebaliknya kalau realitas tidak dapat dihubungi
dan sebab itu tidak dikenal, maka penelitian ilmiah selalu berakhir dengan
kegagalan (hanya rekaan-rekaan imaginatif), juga tidak mungkin ada kritik atas
pengetahuan, karena kritik justru mendasarkan diri pada realitas yang menjadi
kriterium yang mengukur pengetahuan. Ketiga,
realitas dalam ilmu pengetahuan adalah realitas publik yang menjadi
perhatian banyak orang. Yang nyata berarti yang punya dimensi sosial. Yang
nyata disini harus dibedakan dari ilusi. Yang nyata dari ilmu pengetahuan
adalah yang lepas dari apa yang dapat dipikirkan oleh individu dan yang menjadi
bahan informasi publik. Jelas, pengetahuan yang benar harus bereferensi pada
realitas, menjadi obyek penelitian bersama dan disetujui komunitas. Hal ini
sungguh bertentangan dengan gagasan Descrates tentang kesadaran idividual
sabagai pengujian terakhir atas kepastian ilmiah. Berbagai hipotesis hanyalah
percobaan yang harus didukung para ilmuwan, sebab obyek ilmu pengetahuan selalu
bersifat umum atau intersubyektif. Kalau kebenaran pengetahuan ilmiah tidak
menjadi kenyataan publik, maka pengetahuan hanya merupakan pendapat pribadi
yang bisa dipercaya atau tidak dipercayai. Justru karena itu komunikasi dan
bahasa berperan penting dalam ilmu pengetahuan. Lewat bahasa para ilmuwan dapat
saling membagi informasi dan penemuan mereka; mereka dapat saling berdiskusi
dan berdebat, saling mendukung dan membantah. Dengan itu ilmu pengetahuan
semakin dimurnikan; juga lewat komunikasi ilmu dapat diteruskan kepada generasi
lain.
b)
Evolusi obyek pengetahuan
ilmiah. kita temukan dua aspek pemahaman tentang evolusi obyek pengetahuan
ilmiah:
1)
Obyek pengetahuan
ilmiah selalu berubah-ubah sehingga pengetahuan yang telah dicapai bisa selalu
ditinjau kembali sekalipun sangat akurat.
2)
Obyek pengetahuan itu
selalu berkembang kepada regularitas, dalam arti menjadi semakin mudah
dimengerti dan dikenal. Maka lewat dua alasan ini pengetahuan kita selalu
rentan dengan kesalahan, tetapi tetap ada harapan tercapainya suatu pemahaman
yang lebih baik tentang alam semesta asalkan penelitian selalu dibuat. Evolusi
dan perubahan ini tidak hanya terdapat pada alam, sebagai kenyataan dasar dari
setiap realitas, tetapi juga menyangkut pengetahuan manusia. Kalau penelitian
berhenti maka akan muncul dua akibat fatal yakni:
a.
Ilmu tidak lagi menjelaskan
realitas yang sesungguhnya selalu berubah.
b.
Ilmu pengetahuan
memutuskan hubungan dengan realitas yang semakin lama semakin terbuka untuk
diketahui.
Jelas bahwa dalam kebenaran
empiris yang menjadi soal bukannya kepastian (rasional dan logis), melainkan
evidensi (adanya bukti). Memang dalam hal ini subyek dapat merasa pasti akan
apa yang dikatakannya sebagai yang diketahui. Namun ini hanya terjadi apabila
dia memiliki bukti yang nyata. Bagi ilmu empiris (kebenaran empiris) kepastian
dimengerti sebagai dua arti:
1.
Tentang pernyataan yang
menjelaskan gejalah-gejalah yang diselidiki.
2.
Tetang kesimpulan yang
ditarik sebagai suatu hukum yang berlaku umum.
Kepastian
kebenaran dari dua pernyataan ini dicek dengan mengacuh pada realitas.
III.
PENUTUPS
Banyaknya muncul teori kebenaran
yang sudah dijelaskan di awal pembahasan tadi mau memberikan pencerahan baru
kepada kita bahwa kebenaran itu tidak bersifat tunggal, namun ada di dalam
setiap manusia. Alasannya, semua proposisi dan argumen tentang kebenaran
dikontruksi oleh pikiran manusia. Walaupun realitas itu berada di luar pikiran
manusia namun pendeskripsian tentang dunia selalu diproduksi dan dilahirkan
dari pikiran manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Kebung,
Konrad. Filsafat ilmu pengetahuan. Jakarta:
Penerbit PT. Prestasi Pustakaraya, 2011.
Baggini,
Julian dan Fosl, Peters. Kunci Dan
Jawaban Atas Soal-Soal Filsafat, Penerj. Konrad Kebung. Maumere: Ledalero,
2004.
MANUSKRIP
Daven,Mathias.Episteologi (ms), Ledalero, 2016,
Catatan:
1. Hasil kerja kelompok
2. Tulisan ini pernah dipresentasikan dihadapan mahasiswa/i tingkat III STFK Ledalero
[1]Julian Baggini dan
Peters. Fosl, Kunci Dan Jawaban Atas Soal-Soal
Filsafat,Penerj. Konrad Kebung (Maumere: Ledalero, 2004), hal. 296-297.
[2]Mathias Daven, Episteologi(ms), Ledalero, 2016, hal. 114.
Komentar
Posting Komentar