RELEVANSI PANDANGAN WORLDLESSNESS HANNAH ARENDT DENGAN MASALAH TERORISME di INDONESIA
Terorisme
di Indonesia bukanlah masalah baru, hal ini didukung oleh fakta bahwa setiap
tahun selalu ada jaringan teroris baru yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Awal tahun tahun 2016 menjadi bukti kebrutalan teroris di Indonesia.
Ibu Kota menjadi target operasi dalam serangan tersebut. Tepatnya di daerah
sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia
pada tanggal 14 Januari 2016 terjadi serangan teroris yang menelan korban jiwa
delapan orang (empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil) dan 24 lainnya
luka-luka.
Maraknya
aksi teror di Indonesia berdampak pada seluruh komponen dalam masyarakat.
Masyarakat seolah hidup di bawah bayang-bayang teror. Fenomena terorisme
menjadi momok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal penting yang harus
ditelaah dari fenomena ini adalah; mengapa terorisme masif terjadi di
Indonesia?. Menyadari urgennya masalah terorisme ini, maka melalui tulisan ini
penulis mencoba mengaitkan fenomena aksi kejahataan terorisme dengan pemikiran
dari filsuf perempuan Hannah Arendt tentang worldlessness
Menurut
Hannah Arendt dalam analisis politiknya terhadap kejahatan politik pada awal
dan pertengahan abad ke-20, ada keterkaitan timbal balik antara kejahatan
melawan kemanusiaan dan worldlessnesss, sebuah term yang diciptakan untuk
menggambarkan kondisi di mana warga Negara dirampas hak-hak asasi mereka dan
dijadikan mengambang di luar dunia bersama orang lain. Bagi Hannah Arendt, worldlessness di satu pihak, menggiring
orang kepada perilaku jahat atau menjadi pelaku kejahatan; dan di pihak lain,
menjadikan orang sebagai korban kejahatan.
Telaah
penulis dari pemikiran Hannah Arendt lebih kepada worldlessness menjadikan orang sebagai pelaku kejahatan. Titik
terang pemikiran Arendt dengan fenomena terorisme adalah bahwa pelaku kejahatan
terorisme (teroris) merupakan hasil dari penanam ideologi radikal atau proses
“cuci otak”. Seorang awam yang masuk dalam suatu institusi radikal (jaringan
terorisme) akan mengalami indokrinisasi, bahwa hakya untuk berpikir dan bebas
dirampas oleh pemimpin gerakan radikal (misalnya; ISIS). Melalui ideologi negatif,
seorang yang pada awalnya awam mengenai hal ini digiring kepada suatu pemahaman
sesat, misalnya; membunuh orang-orang kafir. Hal ini tentu sangat berbahaya
dalam kehidupan kita. Kekafiran manusia tidak bisa ditentukan oleh sesama
manusia. Pemahaman- pemahaman sesat ini tentu pada akhirnya akan melahirkan
banyak tindakan kejahatan, pembunuhan massal merupakan salah satunya.
Keberadaan
teroris di Indonesia tidak terlepas dari dari regenerasi teroris, setiap tahun
seolah ada kaderisasi untuk menjadi teroris. Kaderisasi inilah yang tercakup
dalam worldlessness, bahwa orang
selalu digiring untuk melakukan tindakan kejahatan. Hal ini diafirmasi oleh
Arendt sendiri bahwa ia sungguh yakin ketika orang tidak mampu berpikir dan
kehilangan kebebasan untuk bertindak,
mereka dengan gampang dimobilisir,
khususnya oleh Negara (dalam konteks ini; pemimpin kelompok teroris) untuk mengambil
bagian dalam kebijakan-kebijakan yang tidak manusiawi.
Relevansi
pemikiran Arendt dengan fenomena terorisme tercakup dalam poin berikut bahwa individu
yang tidak memiliki kebebasan berpikir akan mudah digiring untuk melakukan
suatu tindakan kejahatan. Menimbang pentingnya kebebasan berpikir tersebut,
maka segenap individu harus diberi ruang untuk bebas berpikir (jernih) agar
tindakan yang dilakukannya murni melalui pertimbangan akal sehat.
Komentar
Posting Komentar