KORUPTOR BUDIMAN
KORUPTOR BUDIMAN
(Monolog Anti Korupsi dari AGUS NOOR)
SEORANG koruptor kakap mendadak muncul di kantor peradilan. Ia menyerahkan diri
minta ditangkap. Beberapa petugas jaga – yang sebagian lagi ngobrol sambil
nonton telenovela di televisi, dan sebagian lagi asyik main domino – langsung
tergeragap kaget.
‘’Tolong
tangkap saya,’’ koruptor ternama itu kembali bicara sambil mengulurkan kedua
tangannya seolah-olah minta diborgol. Para petugas jadi langsung gemeteran. Apa
tidak salah? ‘’Saya ingin jadi koruptor yang baik dan benar,’’ kata koruptor
itu, sambil memandangi para petugas yang terheran-heran – juga agak ketakutan.
Tentu
saja peristiwa itu langsung jadi berita besar. Puluhan wartawan segera
mengerubungi sang koruptor. Dan koruptor itu pun langsung memberikan pernyataan-pernyataannya.
‘’Saya
ingin memberi contoh kepada rekan-rekan koruptor lain, tak baik melarikan diri.
Lebih baik duduk tenang di pengadilan. Kalau pingin sembunyi, bukankah
persembunyian paling aman bagi koruptor justru ada di pengadilan. Kita nggak
bakalan diperlakukan macam maling ayam. Paling ditanyai sedikit-sedikit
basa-basi minta bagian hasil korupsi. Tak ada ruginya kalau kita berbagai
rezeki sama hakim jaksa polisi. Anggap saja zakat buat mereka. Toh itu juga
bukan uang kita.’’
Sejenak
ia tersenyum, ketika kamera meng-close up wajahnya.
‘’Makanya
saya di sini, minta diadili. Saya tak hendak membantah. Itu urusan para
pengacara saya, karena untuk itulah mereka dibayar: membuat saya kelihatan tak
bersalah.’’
‘’Jadi
bapak tidak akan membantah kalau Bapak koruptor kakap?’’ cecar wartawan.
“Saya
hanya ingin meluruskan anggapan keliru, yang menyatakan koruptor macam saya tak
lebih benalu bangsa tak berguna. Koruptor macam saya jelas aset bangsa. Kamilah
yang menggerakkan roda perekonomian. Dengan korupsi uang jadi terdistribusi.
Terjadi pemerataan. Seperti pembangunan, korupsi juga terjadi di segala bidang.
Kami tak pernah menikmati buat sendiri. Kami ikut nyumbang pembangunan rumah
ibadah, menyantuni anak yatim, membantu korban bencana, menyokong olahraga,
iuran tujuhbelasan. Banyak. Karena sebagai koruptor yang baik, kami tahu cara
mengelabui. Dengan berbuat baik, kami menjadi dihormati. Duduk di depan bila
ada hajatan, dan diminta bicara di pengajian.’’
‘’Bagaimana
dengan para mahasiswa yang terus berdemonstrasi menuntut semua koruptor
dipenjarakan, Pak?’’
‘’Naif,
bila para mahasiswa terus menuntut koruptor di penjara. Nanti malah repot mesti
bikin buuanyak penjara. Karena 70% warga republik ini pasti akan masuk penjara.
Tidaklah itu hanya akan menghabiskan Anggaran Belanja Negara? Percayalah, biaya
memenjarakan koruptor jauh lebih tinggi ketimbang dana subsidi BBM yang
dialokasikan buat mengatasi kemiskinan. Jadi, memenjarakan koruptor itu justru
kontraproduktif bagi keuangan negara. Daripada uang dihambur-hamburkan
membangun penjara, lebih baik uang itu kami korupsi lalu kami bagi-bagikan
secara adil dan merata.”
Ia
tersenyum, begitu yakin.
‘’Itu
namanya korupsi yang adil dan beradab, sesuai Pancasila. Atau biar terdengar
lebih trendy: itulah prinsip demokrasi dalam korupsi. Sesuai trias politica,
dalam demokrasi mesti ada distribusi kekuasaan yang sama antara
eksekutif-legislatif-judikatif. Korupsi yang demokratis pun begitu:
eksekutif-legislatif-judikatif dapat kesempatan dan keuntungan yang sama. Korupsi
ibarat lokomotif demokrasi yang membawa gerbong-gerbong keuntungan dan semua
orang berebut ingin naik menikmati.
Karna
itulah, memberantas korupsi sama saja menggulingkan gerbong-gerbong demokrasi.
Itu berbahaya. Bisa menimbulkan keonaran para demonstran bayaran. Sebagai
koruptor yang baik, tentu saja saya tak ingin itu terjadi. Saya koruptor cinta
damai.’’
Para
wartawan jadi ramai. Terus mendesak dan berebut ingin maju. Beberapa aparat
segera tanggap, dan memberi ruang agar koruptor itu tidak terlalu terdesak.
Tapi para wartawan terus saling dorong. Suasana kian ramai ketika serombongan
demonstran muncul dan mulai berteriak-teriak menghujat. Tapi Koruptor yang kini
dikawal beberapa aparat itu tetap tenang, tersenyum ke arah para demonstran.
“Tolong…,
jangan terlalu pojokkan kami. Kalau soal unjuk kekuatan, kami juga bisa
menggalang aksi besar-besaran. Pikirkan, bila seluruh koruptor di negeri ini
menggelar aksi mogok — 1 hari saja! Dari kantor kelurahan sampai Istana Negara,
pasti mendadak sepi. Pelayanan publik terhenti. Birokrasi macet. Pabrik-pabrik
tak berproduksi. Semua departemen kosong. Jangankan ngurus surat atau bikin
KTP, WC Umum saja mungkin nggak ada yang ngurusi. Karena semua koruptor mogok,
seperti Lakon Lysistrata ketika seluruh perempuan memboikot laki-laki. Kalian
akan pusing sendiri. Kalian akan melihat betapa berkuasanya kami. Kami ada di
tiap sendi negeri ini. Bagaimana cara kalian membasmi? Kalian seperti
mengamputasi tubuh sendiri.’’
Kata-kata
itu bagai sihir yang mampu merenung semua yang hadir hingga terdiam.
‘’Karena
itu, marilah kita hidup rukun berdampingan dengan damai. Yang koruptor dan
nggak koruptor, apa sih bedanya? Emha Ainun Nadjib bilang, kesalahan hanyalah
kebenaran yang tertunda. Maka yang nggak korupsi pun hanya soal kesempatan yang
tertunda. Koruptor atau bukan, menyitir si jalang Chairil Anwar, semua akan
dapat tempat, semua akan dapat giliran.
Karena
dari pada itu, marilah kita mulai belajar menerima kenyataan, betapa korupsi
memang sudah menjadi suatu yang menyenangkan di republik ini. Anggap saja
koruptor itu sebagai bagian dari perekonomian kita: sudah numpuk utangnya, eh
banyak pula koruptornya. Atau ini ibarat kita masuk lokalisasi. Sudah bayar,
terkena rajasinga pula!’’
Terlihat
koruptor itu berdiri gagah, terlihat yakin dan mantap.
‘’Saya
tidak malu mengakui kalau diri saya memang koruptor. Saya malah bangga bisa
mengaku begitu. Seperti terlepas beban saya. Sekarang saya jadi bisa lebih
rileks. Saya siap dihukum dengan cara sebenar-benarnya…’’
Seluruh
negeri geger. Sebagian besar orang mencacimaki koruptor itu. Demonstrasi
menentangnya digelar. Tapi banyak juga yang memuja pikiran dan kejujurannya.
Walhasil, nama koruptor itu pun makin melambung, makin popular. Para pakar
memandang sinis, karena koruptor itu dianggap cari sensasi murahan.
‘’Saya
tak cari sensasi dengan semua ini,’’ katanya saat jadi narasumber talk show
di stasiun televisi. ‘“Saya justru ingin memberikan tauladan, bahwa koruptor
pun bisa menjadi seorang yang budiman. Kalau pun maling, dia maling yang
budiman. Seperti Robin Hood. Atau jadi Zoro, kalau sebagai koruptor kita kian
peduli pada wong cilik. Karena siapa lagi yang akan memperhatikan wong cilik?
Sebab partai-partai politik tak pernah mikirin nasib wong cilik yang
terus-menerus terpuruk dalam kemiskinan. Karena itulah, wahai para koruptor
yang beriman, marilah kita tingkatkan amal dan taqwa kita dengan membantu
negeri ini, supaya makin terbenam dalam keterpurukan dan kemiskinan lahir
batin. Negeri ini tak bisa diselamatkan, kecuali dengan mempercepat proses
pembusukan. Koruptor macam kita mesti mendukung proses itu. Bila tidak, negeri
ini akan terus nggak jelas seperti ini. Ini negeri seolah-olah, seperti
dikatakan Parakitri T Simbolon. Semuanya jadi serba seolah-olah dan
seakan-akan. Seolah-olah demokratis. Seolah-olah negeri hukum. Seolah-olah
agamawan. Seolah-olah intelektual. Seakan-akan menteri, padahal pengusaha.
Seakan-akan penyair, padahal setengah pengangguran. Tak heran, seorang yang
sudah resmi menyandang predikat koruptor pun, masih bisa berpenampilan tenang
penuh senyum mirip rohaniawan seperti saya.’’
‘’Anda
terlalu melebih-lebihkan,’’ potong moderator acara talk show itu dengan nada
marah. ‘’Anda juga seolah-olah menempatkan koruptor sebagai sesuatu yang
penting!’’.
Dengan
kalem koruptor itu menjawab. ‘’Marilah, mulai saat ini kita lebih menghargai
koruptor sebagai pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa tapi banyak harta yang
berjasa mempercepat proses pembusukan seluruh sampah negeri ini. Anggap saja
ini proses evolusi untuk menghasilkan pembuahan: munculnya tunas-tunas koruptor
yang lebih bertanggungjawab terhadap nasib bangsanya.’’
‘’Jadi
dengan menyerahkan diri, Anda merasa sudah bertanggungjawab, begitu?’’
‘’Terus
terang, sebenarnya saya capek jadi buronan. Itu merendahkan martabat saya.
Seolah-olah saya ini penjahat sekelas Patroli atau Buser. Makanya, lebih baik
saya istirahat nyaman di penjara, ketemu koruptor kolega-kolega saya lainnya.
Kan lebih enak begitu. Rukun, saling berbagai pengalaman. Kumpul bareng.
Korupsi tidak korupsi asal kumpul. Kalau semua rukun kan enak. Lihat, saya
masih tetap sehat, cuma kelihatan tambah kurang waras. Hanya saja, kadang saya
tetap heran dengan para aparat kita. Kenapa masih sungkan-sungkan menangkap
koruptor kakap macam saya? Ketika saya datang, mereka malah sembunyi.
Barangkali para aparat hukum itu memang benar-benar percaya, bahwa koruptor
seperti saya ini memang asset bangsa yang mesti dilindungi. Hingga, meskipun
koruptor seperti saya sudah berada di dalam penjara, masih saja terus diberi keleluasaan
untuk secara sistemik melakukan korupsi dengan baik dan benar, serta secara
murni dan konsekuen…”
SELESAI
Komentar
Posting Komentar